Kamis, 10 Januari 2008

Musafir


Seorang musafir duduk berkelakar di teras masjid. Ia mengipas-ngipas topi ke tangkai leher, matanya hanya setengah membuka, dua kakinya bersilah, sedang kepala bersandar setengah patah di tiang. Ia mencermati pergantian matahari menjadi bulan.
Tiba-tiba datang seorang anak, berkopyah putih, memeluk Qur’an. Langkahnya kecil, mengantarkannya bersilah menghadap mimbar bersiap membaca Qur’an. Saat melantun suaranya terdengar melengking. Sang musafir terhenyak, melongok ke dalam berniat mendekat.
Lama musafir menunggu, duduk termangu mendengarkan lantunan kecil. Saat si kecil menutup Qur’an musafir mendekat, “Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikassalam...” si kecil tersenyum imut.
“Kenapa kau tidak bermain seperti yang lain nak?”
Si kecil sejenak terdiam, “Aku bermain, tapi di tanah lapang, di padang rumput, atau di jalan. Di masjid aku harus baca Qur’an.”
Sang Musafir merenung diam.
“Bapak tidak baca Qur’an?”
Malu Musafir menjawab, “Bapak tidak bisa Nak.”
Si kecil tak pudarkan senyuman, “Bapak kenapa di sini?”
“Bapak istirahat sejenak.”
“Kata Ibu niatkan segalanya untuk Allah, nanti istirahat bapak mendapat rahmat.”
Sang musafir memeluk si kecil, menciumnya berkali-kali, mencatat dalam buku kecilnya berhias air mata haru dari lubuk hati.

Tidak ada komentar: